Kata Pengantar


Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan Tugas ini. Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, kerabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Tugas ini dibuat untuk memberikan kemudahan kepada teman-teman khususnya yang ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih dalam tentang Agama Hindu.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing dan teman–teman seperjuangan kamiyang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikanTugas ini.

Dan kami harap Tugas ini dapatbermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca. Kamijuga menyadari dalam pembuatan Tugas ini masih terdapat banyakkekurangan, oleh karena itu kami mohon kritik dan saran dari teman-teman agar dapatmembangun bagi penyempurnaan Tugasini.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Senin, 29 Mei 2017

SAD DARSANA (Filsafat Nyaya dan Filsafat Mimamsa)

SAD DARSANA (FILSAFAT NYAYA dan FILSAFAT MIMAMSA)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah agama Hindu


Dosen Pembimbing:
Siti Nadroh, MA.




Disusun oleh :
M Aris Sunandar                  (11150321000051)
         Kelas :
      Studi-Studi Agama  B

PROGRAM STUDI-STUDI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017
















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Hindu termasuk agama tertua yang diyakini oleh manusia dan terus berkembang sampai saat ini. Agama Hindu yang telah lama berdiri ini memiliki sistem dan ajaran yang telah terkonsep termasuk ajaran filsafatnya yang di sebut Darsana. Dalam keyakinan Hindu, sejak dahulu kala para Resi dan Muni melakukan meditasi yang menghasilkan inspirasi dan mampu menafsirkan ajaran-ajaran Hindu dengan rinci sebagai aliran-aliran atau mazhab-mazhab filsafat.[1] Di antara filsafat Hindu (Sad Darsana) ini adalah filsafat Nyaya dan Mimamsa.
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba menjelaskan pengertian dari definisi Sad Darsana dan mendefinisikan pula makna dari filsafat Nyaya serta filsafat Mimamsa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu Sad Darsana ?
2.      Apa itu filsafat Nyaya ?
3.      Apa itu filsafat Mimamsa ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Sad Darasana.
2.      Untuk mengetahui pengertian dari filsafat Nyaya.
3.      Untuk mengetahui pengertian dari filsafat Mimamsa.





BAB II
PEMBAHASAN
1)      Pengertian Sad Darshana
Dalam dunia filsafat India terdapat dua golongan yaitu Astika dan Nastika. Sistem filsafat Hindu tergolong pada klasifikasi Astika karena sistemnya atau alirannya yang percaya pada kesucian Weda. Menurut klasifikasi ini ada enam aliran yang disebut dengan Sad Darsana (Sad = enam, Darsana = Pandangan atau filsafat).[2]
Istilah Sad Darshana ini merupakan suatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang, baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi dan abadi.  Sad Darsana adalah enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah:
1.    Nyaya, didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis.Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.
2.    Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
3.    Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
4.    Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.
5.    Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep weda.Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda.
6.     Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa.Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atman dengan Brahman dan tentang kelepasan.
Filsafata India atau Sad Darsana dalam perkembangannya terbagi ke dalam beberapa periodisasi zaman yaitu:[3]
A.                 Zaman Weda (1500 – 600 SM), dimulai oleh peradaban bangsa Arya yang pada saat itu baru muncul benih pemikiran filsafat berupa mantra, pujian keagamaan yang terdapat dalam sastra Brahmana.
B.                 Zaman Wiracarita (600 – 200 SM), diisi oleh perkembangan pemikiran filsafat berupa Upanishad. Ide pemikiran filsafat tersebut berbentuk tulisan yang bertemakan kepahlawanan dan hubungan antara manusia dengan para dewa.
C.                 Zaman Sastra Sutra (200 SM – 1400 M), pada masa ini semakin banyaknya bahan – bahan pemikiran filsafat berupa sutra.
D.                 Zaman Kemunduran (1400 – 1800 M), pemikiran filsafat yang tidak menghasilkan karena para ahli filsafat hanya menirukan pemikiran filsafat yang lampau.
E.                  Zaman Pembaharuan (1800 – 1950 M), diisi oleh kebangkitan pemikiran filsafat India yang dipelopori oleh Ram Mohan Ray.


2)      Filsafat Nyaya
A.    Epistimologi
Kata Nyaya diartikan sebagai kembali, argument, penelitian dan analisis.[4] Dapat diartikan pula sebagai suatu pengujian kritis dari obyek pengetahuan dengan memakai kaidah-kaidah pembuktian secara logika. Nyaya dikatakan sebagai filsafat hidup walaupun pada pokoknya berhubungan dengan studi logika atau argument. Hal ini dikarenakan tujuan utama Nyaya adalah moksa.
Maka filsafat Nyaya dapat diartikan sebagai suatu cara memperoleh kebenaran (Brahman) melalui logika. Filsafat Nyaya menggunakan cara pencarian filosofis yang benar dalam semua obyek dan subyek pengetahuan manusia termasuk dalam penalaran dan aturan pemikiran. Sehingga ajaran nyaya dikenal juga ilmu logika dan nalar (Nyaya Vidya atau Tarkawada).[5]

Sistem filsafat Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara para ahli pemikir dalam mencari kebenaran dari ayat-ayat dalam Weda untuk dijadikan landasan melaksanakan upacara-upacara. Dari hal itu timbul patokan-patokan bagaimana mengadakan penelitian yang benar dan logis.
Dalam filsafat Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (Pramana) agar pengetahuan yang dimiliki bisa valid. Maka dibangunlah empat alat (catur Pramana), yaitu [6]:
1)      Pratyakasa Pramana (Pengamatan)
Cara kerja Pratyakasa Pramana adalah segala sesuatu yang eksis di luar manusia bisa diamati keberadaannya selama ia diserap panca indera. Di sini kita bisa lihat bahwa Nyaya adalah realis-empiris. Menurut Nyaya, ada hubungan antara manusia dan segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran. Sasaran ini, jika kita memakai pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu mesti menempati ruang dan waktu. Singkatnya, antara manusia sebagai subjek pengamat dan benda sebagai objek yang diamati ada sebuah hubungan di antara keduanya dan hubungan itu ada dan nyata.
Jadi  Pratyaksa Pramana ini adalah pengamatan langsung yang menggunakan indera sebagai alat pokok untuk menganalisis. Pratyaksa Pramana selain menggunakan indera sebagai alat pengamatan, ia juga menggunakan Pengamatan yang bersifat transenden atau yang luar biasa. Sebagai contoh, seorang Yogi dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat diamati oleh indera orang biasa. Ini disebabkan karena seorang Yogi dapat berhadapan dengan sasaran yang mengatasi indra manusia. Kekuatan seperti itu dimiliknya karena mempunyai menguasai dan menghubungkan prana pada dirinya dengan prana pada makrokosmos.

2)       Anumana Pramana (Penyimpulan)
Anumana adalah pramana yang cukup penting karena ini adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara. Ini sangat berbeda dengan silogisme Aristoteles.Silogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan perantara antara subjek dan objek yang diamati tersebut juga bersifat empiris.
3)       Upamana Pramana (Perbandingan)
Upamana adalah cara memperoleh pengetahuan dengan cara analogi atau perbandingan. Konsep dasar Upamana adalah membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang hampir sama agar apa yang kita bandingkan tersebut dipahami oleh orang lain walaupun orang tersebut belum pernah menyaksikan secara langsung apa yang kita maksudkan.
4)      Sabda Pramana (Penyaksian)
Pramana yang terakhir adalah Sabdha atau kesaksian.Pengetahuan bisa didapatkan melalui kesaksian orang yang mumpunyai tentang sesuatu hal dan yang bisa dipercaya.Dalam hal ini, Weda adalah kesaksian yang bisa dipercaya kebenarannya.Orang yang bisa dipercaya kesaksiannya sebagai sumber pengetahuan disebut Laukika (logika), sementara kitab suci Weda sebagai sumber pengetahuan disebut Vaidika.Walaupun kita tidak dapat melihat secara langsung, tapi kita percaya kepada orang yang pernah membaca kitab weda tersebut.

B.     Tuhan Dalam Pandangan Filsafat Nyaya (Paramatman)
Filsafat Nyaya meyakini kebenaran weda, maka dalam Nyaya ada kepercayaan tentang adanya Tuhan.[7] Dalam Weda, Tuhan itu ada, maha kuasa, esa dan segalanya. Tuhan adalah penyebab tertinggi penciptaan, segala pencipta, pemelihara dan sebagai pelebur alam semesta. Tuhan adalah sumber awal dan akhir dari segala yang ada.[8]
Ia tidak menciptakan dunia dari ketiadaan, tetapi dari atom-atom eternal; ruang, waktu, pikiran dan jiwa-jiwa. Tuhan dengan demikian adalah pencipta dunia dan bukan penyebab materialnya. Ia juga sebagai pemelihara dunia sepanjang dunia dijaga dalam eksistensi oleh keinginan Tuhan. Ia juga sebagai pelebur yang mengijinkan kekuatan destruksi beroperasi ketika tatanan dunia moral menghendakinya kemudian Tuhan satu tak terbatas dan eternal karena dunia ruang dan waktu, pikiran dan jiwa-jiwa tidak membatasinya tetapi ia dihubungkan dengan Dia. Sebagai tubuh dan roh yang bersemayam didalamnya ia maha kuasa- walaupun ia dipandu didalam aktifitas perbuatan buruk.   Ia maha tahu sepanjang ia mempunyai pengetahuan benar tentang semua benda dan peristiwa. Ia mempunyai kesadaran eternal sebagai kekuatan kognisi langsung dan teguh semua objek. Kesadaran eternal hanyalah atribut Tuhan yang tidak dapat dipisahkan, bukan esensinya seperti dianut oleh Vedanta. Ia memiliki kesempurnaan (sadisvarya) dan magis, maha agung, megah, indah, tak terbatas, mempunyai pengetahuan tak terbatas dan kebebasan dan sempurna dari kemelekatan.
Tuhan sebagai penyebab berjalannya dunia dengan tepat, demikian juga Tuhan merupakan penyebab dari tindakan-tindakan semua makhluk hidup di dunia ini yang bebas dari kerja, ia secara relatif bebas, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dia dibawah direksi dan arahan Tuhan. Dengan demikian, Tuhan mengarahkan semua makhluk hidup melakukan tindakan-tindakan. Sementara manusia adalah penyebab instrumental efisien. Jadi Tuhan adalah pengatur moral dunia beserta semua makhluk hidup, sementara buah-buah perbuatan dan yang tertinggi dari kenikmatan dan penderitaan kita.

C.    Atman
Atman  merupakan percikan-percikan halus dari Brahman (Sang Hyang Widhi) yang berada di dalam setiap makhluk hidup.[9] Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman yaitu yang menghidupkan manusia. Hubungan atman dengan badan ini ibarat bola lampu dengan listrik. Bola lampu tidak akan menyala tanpa listrik, demikian pula badan jasmani takkan hidup tanpa atman.
Demikianlah atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini). Telinga tak dapat mendengar bila tak ada atman, mata tak dapat melihat bila tak ada atman, kulit tak dapat merasakan- bila tak ada atman. Atman itu berasal dari Sang Hyang Widhi, bagaikan matahari dengan sinarnya. Sang Hyang Widhi sebagai matahari dan atman- atman sebagai sinarNya yang terpencar memasuki dalam hidup semua makhluk.
Oleh karena atman adalah bagian dari Brahman, maka atman pada hakekatnya sama dengan sumber itu sendiri. Dalam weda (Bhagavad-Gita II sloka 23, 24, dan 25) menyebutkan sifat-sifat atman sebagai berikut[10]:
                                                            i.            “nai'nam chhindanti sastrani
na chai'nam kledayanty apo
na soshayati marutah”, artinya:
Senjata tidak dapat melukai Dia
dan api tidak bisa membakar- Nya
angin tidak dapat mengeringkan Dia
dan air tidak bisa membasahi- Nya
                                                          ii.            ”Achedyo 'yam adahyo 'yam
akledya 'soshya eva cha
nityah sarwagatah sthanur
achalo 'yam sanatanah”, artinya:
Dia tidak dapat dilukai, dibakar
juga tidak dikeringkan dan dibasahi
Dia adalah abadi, tiada berubah
tiada bergerak, tetap selama- lamanya.






                                                        iii.            “Awyakto 'yam achintyo 'yam
Awikaryo 'yam uchyate
tasmad ewam widitasi 'nam
na 'nusochitum arhasi”, artinya:
Dia dikatakan tidak termanifestasikan
tidak dapat dipikirkan, tidak berubah- ubah
dan mengetahui halnya demikian
engkau hendaknya jangan berduka.

D.     Kelepasan dalam filsafat Nyaya
Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Sebagai wujud dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan. Agar kelahiran dan derita terhenti maka hendaklah aktifitas dihentikan sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma. Untuk menghentikan aktifitas maka manusia harus melandasi hidupnya dengan pengetahuan kebenaran sejati sehingga dengan pengetahuan itu orang akan bebas dari ketidaktahuan yang menyebabkan orang menjadi sadar dan bebas dari keinginan, kesalahan dan penyelewengan. Dengan demikian jiwatma akan bebas dari keterlibatan derita tercapailah kelepasan. Kelepasan ini disebut pula dengan Moksa. Sebagaimana tujuan agama Hindu yang ada dalam Weda, Moksa merupakan tujuan tertinggi yaitu sebuah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan atman bersatu kepada Brahman.[11]
Moksa selain dapat dicapai setelah di dunia akhirat, juga dapat dicapai ketika hidup namun terbatas kepada orang-orang yang sudah bebas dari keterikatan bentuk duniawi dan suka duka kehidupan seperti halnya para Maharsi yang telah bebas dari keterikatan keduniawian.

3)      Filsafat Mimasa
A.    Epistimologi
Filsafat Mimamsa adalah salah satu dari enam sistem filsafat yang sangat menekankan ritual sebagai jalan menuju Moksa.[12] Istilah Mimamsa berasal dari kata dasar man berarti ’berfikir’, ‘memperhatikan’, ‘menimbang’, atau ‘menyelidiki’. Ditinjau dari segi etimologi ingin berfikir : disini menandakan suatu pemikiran, pemeriksaan atau penyelidikan, dari teks weda. Ia melengkapi pandangan pada weda (kebenaran abadi).[13] Menurut Matius Ali dalam bukunya, secara etimologis kata Mimamsa berarti ‘bertanya’ atau ‘penyelidikan’.
Mimamsa dibagi menjadi dua sistem, yakni purwamimamsa dan uttaramimamsa. Kata purna berarti lebih dahulu, maka purwamimamsa artinya yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka weda. Demikian pula kata uttara berarti yang kemudian  jadi uttaramimamsa berurusan dengan bagian akhir dari pustaka weda. Kedua sistem tersebut mempergunakan metode logika yang sama untuk menghadapi persoalan, tetapi memakai lingkungan tafsiran masing-masing. Purvamimamsa juga disebut karma mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam weda, memimpin ke jurusan kebebasan roh. Jadi secara singkatnya Mimamsa disebut Karma Mimamsa karena dalam prakteknya sangat menekankan karma yaitu pelaksanaan upacara agama untuk mencapai tujuan. Begitu juga Uttara mimamsa, juga disebut Jnana mimamsa karena menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam pustaka weda, demi pembebasan roh.
Dalam buku yang ditulis oleh Matius Ali disebutkan bahwa Mimamsa yang bagian pertama dari filsafat ini adalah Purva Mimamsa, sedangkan bagian kedua disebut Uttara Mimamsa. Untuk-menghindarkan kebingungan, maka Purva Mimamsa disebut dengan Mimamsa, sedangkan Uttara Mimamsa disebut dengan Vedanta.[14]
Pembina sistem Mimamsa adalah Jamini yang hidup antara abad 3-2 SM. Ajarannya tercantum dalam kitab Mimamsa sutra. Di suatu tempat antara tahun 200-450 M penemuan-penemuan yang rasional dan definitif itu didokumentasikan dalam Purvamimamsa sutra. Pada zaman berikutnya ajaran Mimamsa dikomentari oleh pengikutnya, yakni Sabaraswamin pada abad ke 4 M, Prabhakara pada tahun 650, dan Kumarila Bhata tahun 700. Oleh karena itu terjadilah dua aliran dalam Mimamsa, yakni Prabhakara dan Kumarila Bhata.
Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. tidak seperti teori pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem yang konsisten. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri.[15]
Prabhakara mengajarkan lima cara untuk memperoleh pengetahuan dan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara yang mana lima diantaranya sama dengan ajaran Prabhakara. Cara-cara tersebut adalah:
a.      Pratyaksa (pengamatan)
b.      Pratyaksa (penyimpulan)
c.      Sabda (kesaksian)
d.     Upamana (pembandingan)
e.      Arthapatti (persangkaan)
f.        Anupalabdi (ketiadaan)


B.     Alam Menurut Filsafat Mimamsa
  Mimasa mengatakan bahwa alam ini nyata dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran mimasa baik phrabakara maupun kumarila bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu: substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan yaitu:
1)      Bumi.
2)      Air.
3)      Api.
4)      Hawa.
5)      Akasa.
6)      Akal.
7)      Pribadi.
8)      Ruang.
9)      Waktu.
Sedang substansi menurut Kumarita Bhata mengajarkan ada sebelas yaitu sembilan sama dengan Prabhakara dan ditambah dua yaitu kegelapan dan suara.


Substansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati karena terdiri dari atom-atom yang dapat diamati seperti debu halus yang tampak dalam sinar matahari. Substansi, kwalitas dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiganya itu- sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat.

C.    Hukum Karma
Kata karma berasal dari kata “Kr” yang artinya bergerak atau berbuat.[16] Karma atau Karmaphala adalah segalaa gerak atau tindakan yang dilakukan, disengaja maupun tidak, baik maupun buruk, benar maupun salah dan disadari ataupun diluar kesadaran.
Mimamsa mengajarkan bahwa hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi didunia ini merupakan akibat dari karma terdahulu oleh karena itu maka apa yang akan menimpa dunia ini seolah-olah sudah ditentukan oleh hukum moril itu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan yang dia alami.
Atas dasar itu maka diajarkan bahwa untuk mewujudkan kebaikan dan ketentraman, di masa yang akan datang sangat perlu untuk berbuat kebaikan dan kebenaran selama hidup ini. Karma yang baik adalah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan oleh Weda yaitu dharma (upacara korban).
Segala baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa akibat di dunia sekarang dan juga di akhirat nanti. Ketika atman dengan sukma sarira (alam pikiran) terpisah dari tubuh dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang. Brahman akan menghukum atman yang berbuat dosa dan merahmati atman yang berbuat kebaikan.
Pengaruh hukum itu pula yang akan mempengaruhi corak dan nilai watak manusia. hal itu memunculkan adanya mascam-macam ragam watak manusia di dunia. Hukuman kepada atman yang selalu melakukan dosa selama renkarnasi, akan membuat derajatnya semakin turun.
D.    Kelepasan Menurut Filsafat Mimamsa
Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Karena makhluk yaitu manusia berjumlah banyak, jiwa itupun banyak. Atas dasar itu, maka Mimamsa menganut sistem pluralis. Mimamsa mengakui banyak jiwa di dunia ini. Atman berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh makhluk yang hidup memiliki satu jiwa.
Sebagai jalan untuk mendapatkan kelepasan, dalam filsafat Mimamsa mengajarkan manusia hendaklah senantiasa melakukan dharma dalam hidupnya, yaitu upacara keagamaan dengan benar yang dilandasi oleh ketentuan Weda, dan sebisa mungkin mejauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila ternyata jiwa yang kekal itu mengalami sengsara setelah meninggal maka jalan yang patut ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara korban terhadap jiwa tersebut. Kaerna upacara korbanlah yang dapat menbersihkan dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan. Sedangkan lain halnya bila orang tidak melakukan upacara korban keagamaan berarti mereka telah merusak hidupnya dan tidak akan mendapatkan kelepasan. Melainkan sebaliknya neraka yang akan menjadi tempatnya berada nanti.[17]
Semua perbuatan dikatakan mempunyai dua pengaruh atau akibat, yaitu satu yang luar (external) dan lainnya yang dalam (internal); satu yang nyata dan yang lain terpendam, yang satu kasar dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal dianggap sebagai “ke-ada-an” (being), sedang pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam benih kehidupan pada masa yang akan datang.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam agama Hindu terdapat ajaran filsafat yang disebut dengan Sad Darsana yaitu enam ajaran pokok filsafat dalam Hindu. Ajaran filsafat ini merupakan suatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang, baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi dan abadi. Diantara enam dari Darsana ini adalah filsafat Nyaya dan Mimamsa.
Filsafat Nyaya adalah suatu cara memperoleh kebenaran (Brahman) melalui logika. Filsafat Nyaya menggunakan cara pencarian filosofis yang benar dalam semua obyek dan subyek pengetahuan manusia termasuk dalam penalaran dan aturan pemikiran. Dalam filsafat Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (Pramana) agar pengetahuan yang dimiliki bisa valid. Maka dibangunlah empat alat (catur Pramana), yaitu: 1. Pratyakasa Pramana (Pengamatan), 2. Anumana Pramana (Penyimpulan), 3. Upamana Pramana (Perbandingan), 4. Sabda Pramana (Penyaksian).
Filsafat Nyaya mempercayai adanya keberadaan Tuhan (Brahman) sebagai pencipta tertinggi dan pengatur jagat raya ini, segala bentuk tindakkan tergantung atasNYA. Dalam filsafat ini pula meyakini bahwa Sang Hyang Widhi memercikkan dirinya kepada seluruh ciptaannya yang disebut Atman. Selain itu, filsafat ini membahas tentang kelepasan bahwa, Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Sebagai wujud dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan. Agar kelahiran dan derita terhenti maka hendaklah aktifitas dihentikan sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma.
Selanjutnya adalah filsafat Mimamsa yaitu: filsafat yang menandakan suatu pemikiran, pemeriksaan atau penyelidikan, dari teks weda. Ia melengkapi pandangan pada weda (kebenaran abadi). Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. tidak seperti teori pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem yang konsisten. Pembina sistem Mimamsa adalah Jamini yang hidup antara abad 3-2 SM. Ajarannya tercantum dalam kitab Mimamsa sutra.
Filsafat ini memiliki pemikiran tentang konsep tentang alam bahwa alam ini nyata dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Filsafat ini juga membahas tentang Karma yaitu hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi didunia ini merupakan akibat dari karma terdahulu oleh karena itu maka apa yang akan menimpa dunia ini seolah-olah sudah ditentukan oleh hukum moril itu. sama halnya dengan filsafat Nyaya, Mimamsa juga membahas tentang kelepasan atau Moksa, dalam filsafat Mimamsa mengajarkan manusia hendaklah senantiasa melakukan dharma dalam hidupnya, yaitu upacara keagamaan dengan benar yang dilandasi oleh ketentuan Weda, dan sebisa mungkin mejauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda agar mampu mencapai kelepasan atau Moksa.










DAFTAR PUSTAKA

·         Gde,  Anak Agung. Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Jakarta: Hanuman Sakti, 1994.
·         Adiputra, I Gede Rudia dkk, Tattwa Darsana, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990.
·         Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989.
·         Swabodhi, Harsa,  opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, Medan: Yayasan Perguruan Budaya & Budaya, 1980.
·         Ali, Mukti Agama Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988.
·         Ali, Matius, Filsafat India, Karang Mulya: Sanggar Luxor , 2010.
·         Burhanuddin , Yudhis M. , Bali yang Hilang, Yogyakarta: Kanikus, 2008.
·         Diakses pada tanggal 18 Maret 2017 http://www.bimbingan.org/perkembangan-filsafat-india-hindu-dan-budha.html.




[1] H. A. Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988, hlm.57.
[2] Diakses pada tanggal 18 Maret 2017 http://maretanakbali.blogspot.co.id/2014/08/astika-dan-nastika-filsafat-hindu_88.html.
[3] Diakses pada tanggal 18 Maret 2017 http://www.bimbingan.org/perkembangan-filsafat-india-hindu-dan-budha.html.
[4] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989, hlm.53.
[5] Harsa Swabodhi, Opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, Medan:Yayasan Perguruan Budaya & Budaya, 1980, hlm.12.
[6] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989, hlm.53.

[7] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990, hlm.26.
[8] Drs. Anak Agung Gde. Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Jakarta: Hanuman Sakti, 1994, hlm20.
[9] Ibid, hlm.25.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hlm.35.
[12] Yudhis M. Burhanuddin, Bali yang Hilang, Yogyakarta: Kanikus, 2008, hlm.56.
[13] Harsa Swabodhi, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu Dharma, 1980, hlm.27.
[14] Matius Ali, Filsafat India, Karang Mulya: Sanggar Luxor,  2010, hlm. 89.


[16] Drs. Anak Agung Gde. Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Jakarta: Hanuman Sakti, 1994, hlm28.
[17] I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990, hlm.42.

0 komentar :

Posting Komentar

 

Makalah Lengkap © 2015 - All Rights Reserved | Copyright by Makalah kel 11