SAD DARSANA (FILSAFAT NYAYA dan
FILSAFAT MIMAMSA)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah agama Hindu
Dosen Pembimbing:
Siti Nadroh, MA.
Disusun oleh :
M Aris Sunandar (11150321000051)
Kelas
:
Studi-Studi
Agama B
PROGRAM STUDI-STUDI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hindu termasuk agama tertua yang diyakini oleh manusia dan terus
berkembang sampai saat ini. Agama Hindu yang telah lama berdiri ini memiliki
sistem dan ajaran yang telah terkonsep termasuk ajaran filsafatnya yang di
sebut Darsana. Dalam keyakinan Hindu, sejak dahulu kala para Resi dan
Muni melakukan meditasi yang menghasilkan inspirasi dan mampu menafsirkan
ajaran-ajaran Hindu dengan rinci sebagai aliran-aliran atau mazhab-mazhab
filsafat.
Di antara filsafat Hindu (Sad Darsana) ini adalah filsafat Nyaya dan Mimamsa.
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba menjelaskan pengertian dari
definisi Sad Darsana dan mendefinisikan pula makna dari filsafat Nyaya serta
filsafat Mimamsa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Sad Darsana ?
2. Apa itu filsafat Nyaya ?
3. Apa itu filsafat Mimamsa ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Sad Darasana.
2.
Untuk mengetahui pengertian dari
filsafat Nyaya.
3.
Untuk
mengetahui pengertian dari filsafat Mimamsa.
BAB II
PEMBAHASAN
1)
Pengertian Sad
Darshana
Dalam dunia
filsafat India terdapat dua golongan yaitu Astika dan Nastika. Sistem
filsafat Hindu tergolong pada klasifikasi Astika karena sistemnya atau
alirannya yang percaya pada kesucian Weda. Menurut klasifikasi ini ada enam
aliran yang disebut dengan Sad Darsana (Sad = enam, Darsana = Pandangan atau
filsafat).
Istilah Sad Darshana ini merupakan suatu
pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang, baik
moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi
dan abadi. Sad Darsana adalah enam macam
aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Adapun bagian-bagian
dari Sad Darsana adalah:
1.
Nyaya, didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama,
yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada
(bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis.Ajaran ini
berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis.
2.
Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan
penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk
merealisasikan sang diri.
3.
Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah
Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya
alam semesta.
4.
Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan
ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.
5.
Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah
Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut
konsep weda.Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda.
6.
Wedanta
merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan
Madhwa.Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atman dengan Brahman dan
tentang kelepasan.
Filsafata India
atau Sad Darsana dalam perkembangannya terbagi ke dalam beberapa periodisasi
zaman yaitu:
A.
Zaman Weda (1500 – 600 SM), dimulai oleh
peradaban bangsa Arya yang pada saat itu baru muncul benih pemikiran filsafat
berupa mantra, pujian keagamaan yang terdapat dalam sastra Brahmana.
B.
Zaman Wiracarita (600 – 200 SM), diisi oleh
perkembangan pemikiran filsafat berupa Upanishad.
Ide pemikiran filsafat tersebut berbentuk tulisan yang bertemakan kepahlawanan
dan hubungan antara manusia dengan para dewa.
C.
Zaman Sastra Sutra (200 SM – 1400 M), pada masa
ini semakin banyaknya bahan – bahan pemikiran filsafat berupa sutra.
D.
Zaman Kemunduran (1400 – 1800 M), pemikiran
filsafat yang tidak menghasilkan karena para ahli filsafat hanya menirukan
pemikiran filsafat yang lampau.
E.
Zaman Pembaharuan (1800 – 1950 M), diisi oleh
kebangkitan pemikiran filsafat India yang dipelopori oleh Ram Mohan Ray.
2)
Filsafat Nyaya
A.
Epistimologi
Kata Nyaya
diartikan sebagai kembali, argument, penelitian dan analisis. Dapat
diartikan pula sebagai suatu pengujian kritis dari obyek pengetahuan
dengan memakai kaidah-kaidah pembuktian secara logika. Nyaya dikatakan sebagai
filsafat hidup walaupun pada pokoknya berhubungan dengan studi logika atau
argument. Hal ini dikarenakan tujuan utama Nyaya adalah moksa.
Maka
filsafat Nyaya dapat diartikan sebagai suatu cara memperoleh kebenaran (Brahman)
melalui logika. Filsafat Nyaya menggunakan cara pencarian filosofis yang benar
dalam semua obyek dan subyek pengetahuan manusia termasuk dalam
penalaran dan aturan pemikiran. Sehingga ajaran nyaya dikenal juga ilmu logika
dan nalar (Nyaya Vidya atau Tarkawada).
Sistem filsafat
Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara para ahli pemikir dalam mencari
kebenaran dari ayat-ayat dalam Weda untuk dijadikan landasan melaksanakan
upacara-upacara. Dari hal itu timbul patokan-patokan bagaimana mengadakan
penelitian yang benar dan logis.
Dalam
filsafat Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (Pramana) agar pengetahuan yang dimiliki bisa valid. Maka
dibangunlah empat alat (catur Pramana), yaitu :
1)
Pratyakasa Pramana (Pengamatan)
Cara kerja Pratyakasa
Pramana adalah
segala sesuatu yang eksis di luar manusia bisa diamati
keberadaannya selama ia diserap panca indera. Di
sini kita bisa lihat bahwa Nyaya adalah realis-empiris. Menurut Nyaya, ada hubungan antara manusia dan
segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran. Sasaran ini, jika kita memakai
pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu mesti menempati ruang dan waktu.
Singkatnya, antara manusia sebagai subjek pengamat dan benda sebagai objek yang
diamati ada sebuah hubungan di antara keduanya dan hubungan itu ada dan nyata.
Jadi Pratyaksa
Pramana ini adalah pengamatan langsung yang menggunakan indera sebagai alat
pokok untuk menganalisis. Pratyaksa Pramana selain menggunakan indera sebagai
alat pengamatan, ia juga menggunakan Pengamatan yang bersifat transenden atau
yang luar biasa. Sebagai contoh, seorang Yogi dapat mengetahui sesuatu yang
tidak dapat diamati oleh indera orang biasa. Ini disebabkan karena seorang Yogi
dapat berhadapan dengan sasaran yang mengatasi indra manusia. Kekuatan seperti
itu dimiliknya karena mempunyai menguasai dan menghubungkan prana pada dirinya
dengan prana pada makrokosmos.
2)
Anumana Pramana (Penyimpulan)
Anumana adalah pramana yang cukup penting karena ini
adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang mengamati
dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara. Ini sangat berbeda dengan
silogisme Aristoteles.Silogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan perantara
antara subjek dan objek yang diamati tersebut juga bersifat empiris.
3)
Upamana Pramana (Perbandingan)
Upamana adalah cara memperoleh pengetahuan dengan cara
analogi atau perbandingan. Konsep dasar Upamana adalah membandingkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain yang hampir sama agar apa yang kita bandingkan
tersebut dipahami oleh orang lain walaupun orang tersebut belum pernah
menyaksikan secara langsung apa yang kita maksudkan.
4)
Sabda Pramana
(Penyaksian)
Pramana yang
terakhir adalah Sabdha atau kesaksian.Pengetahuan bisa didapatkan melalui
kesaksian orang yang mumpunyai tentang sesuatu hal dan yang bisa
dipercaya.Dalam hal ini, Weda adalah kesaksian yang bisa dipercaya kebenarannya.Orang
yang bisa dipercaya kesaksiannya sebagai sumber pengetahuan disebut Laukika
(logika), sementara kitab suci Weda sebagai sumber pengetahuan disebut
Vaidika.Walaupun kita tidak dapat melihat secara langsung, tapi kita percaya
kepada orang yang pernah membaca kitab weda tersebut.
B.
Tuhan Dalam
Pandangan Filsafat Nyaya (Paramatman)
Filsafat Nyaya meyakini kebenaran weda, maka
dalam Nyaya ada kepercayaan tentang adanya Tuhan. Dalam Weda,
Tuhan itu ada, maha kuasa, esa dan segalanya. Tuhan adalah penyebab tertinggi
penciptaan, segala pencipta, pemelihara dan sebagai pelebur alam semesta. Tuhan
adalah sumber awal dan akhir dari segala yang ada.
Ia tidak
menciptakan dunia dari ketiadaan, tetapi dari atom-atom eternal; ruang, waktu,
pikiran dan jiwa-jiwa. Tuhan dengan demikian adalah pencipta dunia dan bukan
penyebab materialnya. Ia juga sebagai pemelihara dunia sepanjang dunia dijaga
dalam eksistensi oleh keinginan Tuhan. Ia juga sebagai pelebur yang mengijinkan
kekuatan destruksi beroperasi ketika tatanan dunia moral menghendakinya
kemudian Tuhan satu tak terbatas dan eternal karena dunia ruang dan waktu,
pikiran dan jiwa-jiwa tidak membatasinya tetapi ia dihubungkan dengan Dia.
Sebagai tubuh dan roh yang bersemayam didalamnya ia maha kuasa- walaupun ia
dipandu didalam aktifitas perbuatan buruk. Ia maha tahu sepanjang ia mempunyai
pengetahuan benar tentang semua benda dan peristiwa. Ia mempunyai kesadaran
eternal sebagai kekuatan kognisi langsung dan teguh semua objek. Kesadaran
eternal hanyalah atribut Tuhan yang tidak dapat dipisahkan, bukan esensinya
seperti dianut oleh Vedanta. Ia memiliki kesempurnaan (sadisvarya) dan magis,
maha agung, megah, indah, tak terbatas, mempunyai pengetahuan tak terbatas dan
kebebasan dan sempurna dari kemelekatan.
Tuhan sebagai
penyebab berjalannya dunia dengan tepat, demikian juga Tuhan merupakan penyebab
dari tindakan-tindakan semua makhluk hidup di dunia ini yang bebas dari kerja,
ia secara relatif bebas, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dia dibawah
direksi dan arahan Tuhan. Dengan demikian, Tuhan mengarahkan semua makhluk
hidup melakukan tindakan-tindakan. Sementara manusia adalah penyebab
instrumental efisien. Jadi Tuhan adalah pengatur moral dunia beserta semua
makhluk hidup, sementara buah-buah perbuatan dan yang tertinggi dari kenikmatan
dan penderitaan kita.
C.
Atman
Atman merupakan percikan-percikan halus dari
Brahman (Sang Hyang Widhi) yang berada di dalam setiap makhluk hidup.
Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman yaitu yang menghidupkan manusia.
Hubungan atman dengan badan ini ibarat bola lampu dengan listrik. Bola lampu
tidak akan menyala tanpa listrik, demikian pula badan jasmani takkan hidup
tanpa atman.
Demikianlah
atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini). Telinga tak
dapat mendengar bila tak ada atman, mata tak dapat melihat bila tak ada atman,
kulit tak dapat merasakan- bila tak ada atman. Atman itu berasal dari Sang
Hyang Widhi, bagaikan matahari dengan sinarnya. Sang Hyang Widhi sebagai
matahari dan atman- atman sebagai sinarNya yang terpencar memasuki dalam hidup
semua makhluk.
Oleh karena atman adalah bagian dari
Brahman, maka atman pada hakekatnya sama dengan sumber itu sendiri. Dalam weda
(Bhagavad-Gita II sloka 23, 24, dan 25) menyebutkan sifat-sifat atman sebagai
berikut:
i.
“nai'nam chhindanti sastrani
na chai'nam kledayanty apo
na soshayati marutah”, artinya:
Senjata tidak dapat melukai Dia
dan api tidak bisa membakar- Nya
angin tidak dapat mengeringkan Dia
dan air tidak bisa membasahi- Nya
ii.
”Achedyo 'yam
adahyo 'yam
akledya 'soshya eva cha
nityah sarwagatah sthanur
achalo 'yam sanatanah”, artinya:
Dia tidak dapat dilukai, dibakar
juga tidak dikeringkan dan dibasahi
Dia adalah abadi, tiada berubah
tiada bergerak, tetap selama- lamanya.
iii.
“Awyakto 'yam
achintyo 'yam
Awikaryo 'yam uchyate
tasmad ewam widitasi 'nam
na 'nusochitum arhasi”, artinya:
Dia dikatakan tidak termanifestasikan
tidak dapat dipikirkan, tidak berubah- ubah
dan mengetahui halnya demikian
engkau hendaknya jangan berduka.
D.
Kelepasan dalam filsafat Nyaya
Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui
pengetahuan yang benar dan sempurna. Sebagai wujud dari kelepasan ialah
terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun penderitaan. Agar
kelahiran dan derita terhenti maka hendaklah aktifitas dihentikan sehingga
terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun
phala karma. Untuk menghentikan aktifitas maka manusia harus melandasi hidupnya
dengan pengetahuan kebenaran sejati sehingga dengan pengetahuan itu orang akan
bebas dari ketidaktahuan yang menyebabkan orang menjadi sadar dan bebas dari
keinginan, kesalahan dan penyelewengan. Dengan demikian jiwatma akan bebas dari
keterlibatan derita tercapailah kelepasan. Kelepasan ini disebut pula dengan Moksa.
Sebagaimana tujuan agama Hindu yang ada dalam Weda, Moksa merupakan tujuan
tertinggi yaitu sebuah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat
duniawi dan atman bersatu kepada Brahman.
Moksa selain dapat dicapai setelah di dunia
akhirat, juga dapat dicapai ketika hidup namun terbatas kepada orang-orang yang
sudah bebas dari keterikatan bentuk duniawi dan suka duka kehidupan seperti
halnya para Maharsi yang telah bebas dari keterikatan keduniawian.
3)
Filsafat Mimasa
A.
Epistimologi
Filsafat Mimamsa
adalah salah satu dari enam sistem filsafat yang sangat menekankan ritual
sebagai jalan menuju Moksa. Istilah
Mimamsa berasal dari kata dasar man berarti ’berfikir’,
‘memperhatikan’, ‘menimbang’, atau ‘menyelidiki’. Ditinjau dari segi etimologi
ingin berfikir : disini menandakan suatu pemikiran, pemeriksaan atau
penyelidikan, dari teks weda. Ia melengkapi pandangan pada weda (kebenaran
abadi). Menurut
Matius Ali dalam bukunya, secara etimologis kata Mimamsa berarti
‘bertanya’ atau ‘penyelidikan’.
Mimamsa dibagi menjadi dua sistem, yakni
purwamimamsa dan uttaramimamsa. Kata purna berarti lebih dahulu, maka
purwamimamsa artinya yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka
weda. Demikian pula kata uttara berarti yang kemudian jadi uttaramimamsa
berurusan dengan bagian akhir dari pustaka weda. Kedua sistem tersebut
mempergunakan metode logika yang sama untuk menghadapi persoalan, tetapi
memakai lingkungan tafsiran masing-masing. Purvamimamsa juga disebut karma
mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam weda, memimpin ke jurusan kebebasan
roh. Jadi secara singkatnya Mimamsa disebut Karma Mimamsa karena dalam
prakteknya sangat menekankan karma yaitu pelaksanaan upacara agama untuk
mencapai tujuan. Begitu juga Uttara mimamsa, juga disebut Jnana mimamsa karena
menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam pustaka weda, demi pembebasan
roh.
Dalam buku yang ditulis oleh Matius Ali
disebutkan bahwa Mimamsa yang bagian pertama dari filsafat ini adalah Purva
Mimamsa, sedangkan bagian kedua disebut Uttara Mimamsa. Untuk-menghindarkan
kebingungan, maka Purva Mimamsa disebut dengan Mimamsa, sedangkan
Uttara Mimamsa disebut dengan Vedanta.
Pembina sistem Mimamsa adalah Jamini yang hidup
antara abad 3-2 SM. Ajarannya tercantum dalam kitab Mimamsa sutra. Di
suatu tempat antara tahun 200-450 M penemuan-penemuan yang rasional dan
definitif itu didokumentasikan dalam Purvamimamsa sutra. Pada zaman berikutnya ajaran Mimamsa dikomentari
oleh pengikutnya, yakni Sabaraswamin pada abad ke 4 M, Prabhakara pada tahun 650,
dan Kumarila Bhata tahun 700. Oleh karena itu terjadilah dua aliran dalam
Mimamsa, yakni Prabhakara dan Kumarila Bhata.
Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah
pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. tidak seperti teori pengetahuan
lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang
benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun
orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu
sistem yang konsisten. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang
memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim
yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan
itu sendiri.[15]
Prabhakara mengajarkan lima cara untuk memperoleh
pengetahuan dan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara yang mana lima diantaranya
sama dengan ajaran Prabhakara. Cara-cara tersebut adalah:
a.
Pratyaksa (pengamatan)
b.
Pratyaksa (penyimpulan)
c.
Sabda (kesaksian)
d.
Upamana (pembandingan)
e.
Arthapatti (persangkaan)
f.
Anupalabdi
(ketiadaan)
B.
Alam Menurut
Filsafat Mimamsa
Mimasa mengatakan bahwa alam ini nyata
dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat
oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran mimasa baik
phrabakara maupun kumarila bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di
alam ini yaitu: substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari
sembilan yaitu:
1)
Bumi.
2)
Air.
3)
Api.
4)
Hawa.
5)
Akasa.
6)
Akal.
7)
Pribadi.
8)
Ruang.
9)
Waktu.
Sedang
substansi menurut Kumarita Bhata mengajarkan ada sebelas yaitu sembilan sama
dengan Prabhakara dan ditambah dua yaitu kegelapan dan suara.
Substansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati
karena terdiri dari atom-atom yang dapat diamati seperti debu halus yang tampak
dalam sinar matahari. Substansi, kwalitas dan sifat umum sesungguhnya tidak
dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiganya itu- sebenarnya
berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat.
C.
Hukum Karma
Kata karma
berasal dari kata “Kr” yang artinya bergerak atau berbuat.
Karma atau Karmaphala adalah segalaa gerak atau tindakan yang dilakukan,
disengaja maupun tidak, baik maupun buruk, benar maupun salah dan disadari
ataupun diluar kesadaran.
Mimamsa
mengajarkan bahwa hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta
isinya. Apa yang terjadi didunia ini merupakan akibat dari karma terdahulu oleh
karena itu maka apa yang akan menimpa dunia ini seolah-olah sudah ditentukan
oleh hukum moril itu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang
serta lari dari kenyataan yang dia alami.
Atas
dasar itu maka diajarkan bahwa untuk mewujudkan kebaikan dan ketentraman, di
masa yang akan datang sangat perlu untuk berbuat kebaikan dan kebenaran selama
hidup ini. Karma yang baik adalah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang
diajarkan oleh Weda yaitu dharma (upacara korban).
Segala
baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa akibat di dunia sekarang dan juga
di akhirat nanti. Ketika atman dengan sukma sarira (alam pikiran) terpisah dari
tubuh dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang. Brahman
akan menghukum atman yang berbuat dosa dan merahmati atman yang berbuat
kebaikan.
Pengaruh
hukum itu pula yang akan mempengaruhi corak dan nilai watak manusia. hal itu
memunculkan adanya mascam-macam ragam watak manusia di dunia. Hukuman kepada
atman yang selalu melakukan dosa selama renkarnasi, akan membuat derajatnya
semakin turun.
D.
Kelepasan
Menurut Filsafat Mimamsa
Makhluk-makhluk
yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Karena
makhluk yaitu manusia berjumlah banyak, jiwa itupun banyak. Atas dasar itu,
maka Mimamsa menganut sistem pluralis. Mimamsa mengakui banyak jiwa di dunia
ini. Atman berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap
tubuh makhluk yang hidup memiliki satu jiwa.
Sebagai jalan
untuk mendapatkan kelepasan, dalam filsafat Mimamsa mengajarkan manusia
hendaklah senantiasa melakukan dharma dalam hidupnya, yaitu upacara keagamaan
dengan benar yang dilandasi oleh ketentuan Weda, dan sebisa mungkin mejauhkan
diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila ternyata
jiwa yang kekal itu mengalami sengsara setelah meninggal maka jalan yang patut
ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara
korban terhadap jiwa tersebut. Kaerna upacara korbanlah yang dapat menbersihkan
dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan. Sedangkan lain halnya bila orang tidak
melakukan upacara korban keagamaan berarti mereka telah merusak hidupnya dan
tidak akan mendapatkan kelepasan. Melainkan sebaliknya neraka yang akan menjadi
tempatnya berada nanti.
Semua perbuatan
dikatakan mempunyai dua pengaruh atau akibat, yaitu satu yang luar (external)
dan lainnya yang dalam (internal); satu yang nyata dan yang lain terpendam,
yang satu kasar dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal dianggap
sebagai “ke-ada-an” (being), sedang pengaruh luar bersifat sementara. Maka
perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam benih kehidupan pada masa
yang akan datang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam agama Hindu terdapat ajaran filsafat yang disebut dengan Sad
Darsana yaitu enam ajaran pokok filsafat dalam Hindu. Ajaran filsafat ini merupakan
suatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang,
baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan yang
tertinggi dan abadi. Diantara enam
dari Darsana ini adalah filsafat Nyaya dan Mimamsa.
Filsafat Nyaya adalah suatu cara memperoleh kebenaran (Brahman) melalui logika. Filsafat Nyaya
menggunakan cara pencarian filosofis yang benar dalam semua obyek dan subyek
pengetahuan manusia
termasuk dalam penalaran dan aturan pemikiran. Dalam
filsafat Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (Pramana) agar pengetahuan yang dimiliki bisa valid. Maka
dibangunlah empat alat (catur Pramana), yaitu: 1. Pratyakasa
Pramana (Pengamatan), 2. Anumana Pramana (Penyimpulan), 3. Upamana Pramana (Perbandingan), 4.
Sabda Pramana (Penyaksian).
Filsafat Nyaya mempercayai adanya keberadaan Tuhan (Brahman) sebagai
pencipta tertinggi dan pengatur jagat raya ini, segala bentuk tindakkan
tergantung atasNYA. Dalam filsafat ini pula meyakini bahwa Sang Hyang Widhi
memercikkan dirinya kepada seluruh ciptaannya yang disebut Atman. Selain itu,
filsafat ini membahas tentang kelepasan bahwa, Kelepasan akan
dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Sebagai wujud
dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari kelahiran kesenangan maupun
penderitaan. Agar kelahiran dan derita terhenti maka hendaklah aktifitas
dihentikan sehingga terwujudlah kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak
terikat akan karma ataupun phala karma.
Selanjutnya
adalah filsafat Mimamsa yaitu: filsafat yang menandakan suatu pemikiran,
pemeriksaan atau penyelidikan, dari teks weda. Ia melengkapi pandangan pada
weda (kebenaran abadi). Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman
tentang keabsahan diri pengetahuan. tidak seperti teori pengetahuan lain yang
mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar
ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang
kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem
yang konsisten. Pembina sistem Mimamsa adalah Jamini yang hidup antara abad 3-2
SM. Ajarannya tercantum dalam kitab Mimamsa sutra.
Filsafat ini
memiliki pemikiran tentang konsep tentang alam bahwa alam ini nyata dan kekal
serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan
karena alam ini ada dengan sendirinya. Filsafat ini juga membahas tentang Karma
yaitu hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa
yang terjadi didunia ini merupakan akibat dari karma terdahulu oleh karena itu
maka apa yang akan menimpa dunia ini seolah-olah sudah ditentukan oleh hukum
moril itu. sama halnya dengan filsafat Nyaya, Mimamsa juga membahas tentang
kelepasan atau Moksa, dalam filsafat
Mimamsa mengajarkan manusia hendaklah senantiasa melakukan dharma dalam
hidupnya, yaitu upacara keagamaan dengan benar yang dilandasi oleh ketentuan
Weda, dan sebisa mungkin mejauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang
bertentangan dengan Weda agar mampu mencapai kelepasan atau Moksa.
DAFTAR PUSTAKA
·
Gde, Anak Agung. Oka Netra, Tuntunan Dasar
Agama Hindu, Jakarta: Hanuman Sakti, 1994.
·
Adiputra, I Gede Rudia dkk, Tattwa Darsana,
Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990.
·
Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta:
PT. BPK Gunung Mulia, 1989.
·
Swabodhi, Harsa, opamana-pramana Budha Dharna dan Hindu
Dharma, Medan: Yayasan Perguruan Budaya & Budaya, 1980.
·
Ali, Mukti Agama
Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988.
·
Ali, Matius, Filsafat India, Karang Mulya: Sanggar
Luxor , 2010.
·
Burhanuddin , Yudhis M. , Bali
yang Hilang, Yogyakarta: Kanikus, 2008.
I Gede Rudia Adiputra dkk, Tattwa Darsana,
Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990, hlm.26.
Matius Ali, Filsafat
India, Karang Mulya: Sanggar Luxor, 2010, hlm. 89.
0 komentar :
Posting Komentar